22213289
Data
dan fakta : kontrak karya PT.Freeport Indonesia Bentuk penjajahan VOC Modern
(1967-2041)
Kontrak
Karya yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Freeport McMoRan ditenggarai
sangat merugikan kepentingan negara. Potensi kerugian disebabkan oleh rendahnya
royalti yang hanya 1% – 3,5% serta berbagai pelanggaran hak adat masyarakat
sekitar maupun pencemaran lingkungan. Sejak beroperasi di tahun 1967, Freeport
McMoRan berhasil menjadi perusahaan pertambangan kelas dunia dengan
mengandalkan hasil produksi dari wilayah Indonesia.
Freeport beroperasi di Indonesia
berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU 11/1967
mengenai PMA. Berdasarkan KK ini, Freeport memperoleh konsesi penambangan
di wilayah seluas 24,700 acres (atau seluas +/- 1,000 hektar. 1 Acres = 0.4047
Ha). Masa berlaku KK pertama ini adalah 30 tahun. Kemudian pada tahun 1991, KK
Freeport di perpanjang menjadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali @ 10
tahun. Jadi KK Freeport akan berakhir di tahun 2021 jika pemerintah tidak
menyetujui usulan perpanjangan tersebut
Berdasarkan kontrak karya ini, luas
penambangan Freeport bertambah (disebut Blok B) seluas 6,5 juta acres (atau
seluas 2,6 juta ha). Dari Blok B ini yang sudah di lakukan kegiatan eksplorasi
seluas 500 ribu acres (atau sekitar 203 ribu ha Dalam KK, seluruh urusan
manajemen dan operasional diserahkan kepada penambang. Negara tidak memiliki
control sama sekali atas kegiatan operasional perusahaan. Negara hanya
memperoleh royalty yang besarnya ditentukan dalam KK tersebut.
Kritik utama atas KK Freeport adalah
kecilnya royalty yang diterima oleh Indonesia. Untuk tembaga, royalty sebesar
1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5%
dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak
ditetapkan sebesar 1% dari harga jual. Selain itu, KK pertama Freeport
mendapatkan kritik karena bertentangan dengan UU No
5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam UU tersebut, Negara mengakui
hak adat sedangkan KK I Freeport, memberikan konsesi yang terletak di atas
tanah adat. Bahkan dalam satu klausul KK nya, Freeport diperkenankan untuk
memindahkan penduduk yang berada dalam area KK nya.
Masalah lingkungan adalah masalah
yang paling sering disorot. Dikutip dari situs http://www.jatam.org,
“tanah adat 7 suku, diantaranya amungme, diambil dan dihancurkan pada saat awal
beroperasi PTFI. Limbah tailing PT FI telah meniumbun sekitar 110 km2 wilayah
estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2
lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun
tercemar Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan
tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Para
ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein
bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke
Papua. Timika, kota tambang PT FI , adalah kota dengan penderita HIV AIDS
tertinggi di Indonesia”
Masalah lain adalah masalah HAM.
Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport yang
ditengarai dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaa
Selain royalty yang besarnya sudah
diatur dalam KK, Freeport memberikan royalty tambahan (mulai 1998) yang
besarnya sama dengan royalty yang diatur dalam KK (untuk tembaga)dan dua kali
untuk emas dan perak. Royalti tersebut diberikan untuk sebagai upaya dukungan
bagi pemerintah dan masyarakat local. Royalti tambahan ini diberikan apabila
kapasitas milling beroperasi diatas 200.000 metric ton/hari. Pada tahun 2009,
kapasitas mill mencapai 235 ribu metric ton/hari
Berdasarkan laporan keuangan Freport
McMoran 2009, total royalty (royalty KK dan additional royalty) sebesar US$ 147
juta (2009), US$ 113 juta (2008) dan US$ 133 juta (2007) Dari penjualan
tersebut, tambang di Papua menyumbangkan sekitar 34% untuk tembaga dan 96%
untuk penjualan emas. Dengan hasil ini, PTFI merupakan “primadona bagi Freeport
McMoRan.
Dalam Laporan Keuangan 2009,
Freeport McMoRan melaporkan cadangan tembaga sebesar 104.2 Milyar pound
(sekitar 47.2 Milyar kg) dan cadangan emas sebesar 37 juta ounces (sekitar 1
juta kg)
Dari cadangan tersebut, tambang di
Papua menyumbangkan cadangan sekitar 33% untuk tembaga dan 96% untuk cadangan
emas. Tanpa PTFI, Freeport McMoRan akan kehilangan 1/3 penjualannya. sumbangan
besar PTFI bagi “kemakmuran Freeport McMoRan”. Jika dilihat dari data cost per
pound tambang yang diperoleh (semuanya termasuk tembaga/emas/perak/myolebdenum)
maka unit cost tambang di Papua adalah terendah di antara semua tambang
Freeport McMoRan.Unit cost per pound berkisar US$ 0.49. Bandingkan dengan North
America yang mencapai US$ 1.11/pound dan South America yang berkisar US$
1.12/pound. Untuk tahun 2010, unit cost di Indonesia bahkan mencapai US$ 0,1
per pound.
Jadi, tambang di Papua (Grassberg)
sangat-sangat menguntungkan Freeport McMoRan. Sudah cadangannya paling besar,
ada kandungan emas (yang nilainya sangat besar) ditambah lagi unit cost nya
yang paling rendah..
Berdasarkan data yang ada di Laporan
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP 2009), pemerintah mencatat PTFI membukukan
penjualan sebesar Rp 55,5 Triliun (2009) dan menghasilkan laba setelah sebesar
Rp 24,8 T Per September 2010, PTFI mencatat penjualan (Rp 41 Triliun) dan laba
kotor (23 Triliun)
Mengingat kontrak Freeport akan
berakhir pada 2021 dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun, maka
Indonesia tidak akan mendapatkan sisa-sisa tembaga dan emas apabila kontrak
tersebut diperpanjang sampai dengan 2041 (dengan catatan tidak ada penemuan
cadangan baru) opsi memperpanjang kontrak PTFI sangat tidak menguntungkan
pemerintah Indonesia mengingat potensi penerimaan yang bisa mencapai Rp 600
triliun bahkan lebih.
Dalam laporan keuangannya, Freeport
McMoran selalu mengatakan bahwa operasional mereka di Indonesia “ produce
copper concentrate, which contains significant quantities of by product gold
and silver”. Padahal secara definisi, by product adalah produk sampingan. Emas
dan Perak tersebut seharusnya tidak diklasifikasikan sebagai by product
mengingat jumlahnya yang sifnificant.
Apakah kontribusi PTFI ini besar?
Kontribusi PTFI terhadap Pemerintah
Indonesia terdiri dari royalty dan iuran tetap, pajak serta deviden. Untuk
royalty, Negara hanya memperoleh 1% (emas dan Perak) serta 1% – 3,5% (untuk
tembaga). Untuk iuran tetap ditentukan berdasarkan tariff dan luas wilayah.
Prosentase royalty untuk batubara saja bisa mencapai 13,5% dari penjualan.
Berdasarkan press release dari PTFI,
selama 2010 (sd Juni), PTFI sudah memberikan kontribusi sebesar US$ 899 juta.
Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah Kontrak Karya kedua ditandatangani)
kontribusi mereka mencapai US$ 10,4 Milyar (royalty sebesar US$ 1,1 milyar dan
dividen sebesar US$ 1 Milyar). Angka diatas terlihat besar. Total kontribusi
hamper mencapai Rp 90 Triliun. Namun jumlah ini kecil. Karena sebenarnya,
kontribusi rill mereka adalah dividend dan royalty yang nilainya hanya mencapai
sekitar Rp 18 triliun (selama 18 tahun). Siapapun dia, selain PTFI, jika
mendapatkan konsesi Grassberg akan membayarkan iuran tetap dan pajak
penghasilan yang sama. Sehingga unsur ini tidak patut diperhitungkan sebagai
kontribusi kepada pemerintah Indonesia
Jika sebagai pemegang saham 9,36%
saja pemerintah mendapatkan deviden Rp 2 Triliun, maka Freeport McMoran sebagai
induk dari PTFI (pemegang 90,64%) akan mendapat deviden +/- Rp 20 Triliun
Sumber :
1. Laporan Keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold inc
(per Sept 2010)
2. Laporan Keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc
tahun 2005 sd 2009)
3. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2009
Iswahyudi Sondi