Rabu, 01 April 2015

tugas softskill aspek hukum dalam Ekonomi#

dewi haryani
22213289


Data dan fakta : kontrak karya PT.Freeport Indonesia Bentuk penjajahan VOC Modern (1967-2041)
 
Kontrak Karya yang melibatkan pemerintah Indonesia dan Freeport McMoRan ditenggarai sangat merugikan kepentingan negara. Potensi kerugian disebabkan oleh rendahnya royalti yang hanya 1% – 3,5% serta berbagai pelanggaran hak adat masyarakat sekitar maupun pencemaran lingkungan. Sejak beroperasi di tahun 1967, Freeport McMoRan berhasil menjadi perusahaan pertambangan kelas dunia dengan mengandalkan hasil produksi dari wilayah Indonesia.
Freeport beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada tahun 1967 berdasarkan UU 11/1967 mengenai PMA. Berdasarkan KK ini, Freeport memperoleh konsesi penambangan di wilayah seluas 24,700 acres (atau seluas +/- 1,000 hektar. 1 Acres = 0.4047 Ha). Masa berlaku KK pertama ini adalah 30 tahun. Kemudian pada tahun 1991, KK Freeport di perpanjang menjadi 30 tahun dengan opsi perpanjangan 2 kali @ 10 tahun. Jadi KK Freeport akan berakhir di tahun 2021 jika pemerintah tidak menyetujui usulan perpanjangan tersebut
Berdasarkan kontrak karya ini, luas penambangan Freeport bertambah (disebut Blok B) seluas 6,5 juta acres (atau seluas 2,6 juta ha). Dari Blok B ini yang sudah di lakukan kegiatan eksplorasi seluas 500 ribu acres (atau sekitar 203 ribu ha Dalam KK, seluruh urusan manajemen dan operasional diserahkan kepada penambang. Negara tidak memiliki control sama sekali atas kegiatan operasional perusahaan. Negara hanya memperoleh royalty yang besarnya ditentukan dalam KK tersebut.
Kritik utama atas KK Freeport adalah kecilnya royalty yang diterima oleh Indonesia. Untuk tembaga, royalty sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Sedangkan untuk emas dan perak ditetapkan sebesar 1% dari harga jual. Selain itu, KK pertama Freeport mendapatkan kritik karena bertentangan dengan UU No 5/1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Dalam UU tersebut, Negara mengakui hak adat sedangkan KK I Freeport, memberikan konsesi yang terletak di atas tanah adat. Bahkan dalam satu klausul KK nya, Freeport diperkenankan untuk memindahkan penduduk yang berada dalam area KK nya.
Masalah lingkungan adalah masalah yang paling sering disorot. Dikutip dari situs http://www.jatam.org, “tanah adat 7 suku, diantaranya amungme, diambil dan dihancurkan pada saat awal beroperasi PTFI. Limbah tailing PT FI telah meniumbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan suburpun tercemar Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa. Para ibu tak lagi bisa mencari siput di sekitar sungai yang merupakan sumber protein bagi keluarga. Gangguan kesehatan juga terjadi akibat masuknya orang luar ke Papua. Timika, kota tambang PT FI , adalah kota dengan penderita HIV AIDS tertinggi di Indonesia”
Masalah lain adalah masalah HAM. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport yang ditengarai dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaa
Selain royalty yang besarnya sudah diatur dalam KK, Freeport memberikan royalty tambahan (mulai 1998) yang besarnya sama dengan royalty yang diatur dalam KK (untuk tembaga)dan dua kali untuk emas dan perak. Royalti tersebut diberikan untuk sebagai upaya dukungan bagi pemerintah dan masyarakat local. Royalti tambahan ini diberikan apabila kapasitas milling beroperasi diatas 200.000 metric ton/hari. Pada tahun 2009, kapasitas mill mencapai 235 ribu metric ton/hari
Berdasarkan laporan keuangan Freport McMoran 2009, total royalty (royalty KK dan additional royalty) sebesar US$ 147 juta (2009), US$ 113 juta (2008) dan US$ 133 juta (2007) Dari penjualan tersebut, tambang di Papua menyumbangkan sekitar 34% untuk tembaga dan 96% untuk penjualan emas. Dengan hasil ini, PTFI merupakan “primadona bagi Freeport McMoRan.
Dalam Laporan Keuangan 2009, Freeport McMoRan melaporkan cadangan tembaga sebesar 104.2 Milyar pound (sekitar 47.2 Milyar kg) dan cadangan emas sebesar 37 juta ounces (sekitar 1 juta kg)
Dari cadangan tersebut, tambang di Papua menyumbangkan cadangan sekitar 33% untuk tembaga dan 96% untuk cadangan emas. Tanpa PTFI, Freeport McMoRan akan kehilangan 1/3 penjualannya. sumbangan besar PTFI bagi “kemakmuran Freeport McMoRan”. Jika dilihat dari data cost per pound tambang yang diperoleh (semuanya termasuk tembaga/emas/perak/myolebdenum) maka unit cost tambang di Papua adalah terendah di antara semua tambang Freeport McMoRan.Unit cost per pound berkisar US$ 0.49. Bandingkan dengan North America yang mencapai US$ 1.11/pound dan South America yang berkisar US$ 1.12/pound. Untuk tahun 2010, unit cost di Indonesia bahkan mencapai US$ 0,1 per pound.
Jadi, tambang di Papua (Grassberg) sangat-sangat menguntungkan Freeport McMoRan. Sudah cadangannya paling besar, ada kandungan emas (yang nilainya sangat besar) ditambah lagi unit cost nya yang paling rendah..
Berdasarkan data yang ada di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP 2009), pemerintah mencatat PTFI membukukan penjualan sebesar Rp 55,5 Triliun (2009) dan menghasilkan laba setelah sebesar Rp 24,8 T Per September 2010, PTFI mencatat penjualan (Rp 41 Triliun) dan laba kotor (23 Triliun)
Mengingat kontrak Freeport akan berakhir pada 2021 dengan opsi perpanjangan 2 kali masing-masing 10 tahun, maka Indonesia tidak akan mendapatkan sisa-sisa tembaga dan emas apabila kontrak tersebut diperpanjang sampai dengan 2041 (dengan catatan tidak ada penemuan cadangan baru) opsi memperpanjang kontrak PTFI sangat tidak menguntungkan pemerintah Indonesia mengingat potensi penerimaan yang bisa mencapai Rp 600 triliun bahkan lebih.
Dalam laporan keuangannya, Freeport McMoran selalu mengatakan bahwa operasional mereka di Indonesia “ produce copper concentrate, which contains significant quantities of by product gold and silver”. Padahal secara definisi, by product adalah produk sampingan. Emas dan Perak tersebut seharusnya tidak diklasifikasikan sebagai by product mengingat jumlahnya yang sifnificant.
Apakah kontribusi PTFI ini besar?
Kontribusi PTFI terhadap Pemerintah Indonesia terdiri dari royalty dan iuran tetap, pajak serta deviden. Untuk royalty, Negara hanya memperoleh 1% (emas dan Perak) serta 1% – 3,5% (untuk tembaga). Untuk iuran tetap ditentukan berdasarkan tariff dan luas wilayah. Prosentase royalty untuk batubara saja bisa mencapai 13,5% dari penjualan.
Berdasarkan press release dari PTFI, selama 2010 (sd Juni), PTFI sudah memberikan kontribusi sebesar US$ 899 juta. Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah Kontrak Karya kedua ditandatangani) kontribusi mereka mencapai US$ 10,4 Milyar (royalty sebesar US$ 1,1 milyar dan dividen sebesar US$ 1 Milyar). Angka diatas terlihat besar. Total kontribusi hamper mencapai Rp 90 Triliun. Namun jumlah ini kecil. Karena sebenarnya, kontribusi rill mereka adalah dividend dan royalty yang nilainya hanya mencapai sekitar Rp 18 triliun (selama 18 tahun). Siapapun dia, selain PTFI, jika mendapatkan konsesi Grassberg akan membayarkan iuran tetap dan pajak penghasilan yang sama. Sehingga unsur ini tidak patut diperhitungkan sebagai kontribusi kepada pemerintah Indonesia
Jika sebagai pemegang saham 9,36% saja pemerintah mendapatkan deviden Rp 2 Triliun, maka Freeport McMoran sebagai induk dari PTFI (pemegang 90,64%) akan mendapat deviden +/- Rp 20 Triliun
Sumber :
1. Laporan Keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold inc (per Sept 2010)
2. Laporan Keuangan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc tahun 2005 sd 2009)
3. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2009
Iswahyudi Sondi