Jumat, 22 Mei 2015

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL



Pengertian Kekayaan Intelektual
Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual.
Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya (kreativitas) nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.
Teori Hak Kekayaan Intelektual
  • Teori Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir. Benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia
PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
·         Prinsip Ekonomi.
Prinsip ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
·         Prinsip Keadilan.
Prinsip keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
·         Prinsip Kebudayaan.
Prinsip kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk meningkatkan kehidupan manusia
·         Prinsip Sosial.
Prinsip sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.
KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta ( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak kekayaan industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
  1. Paten
  2. Merek
  3. Varietas tanaman
  4. Rahasia dagang
  5. Desain industry
  6. Desain tata letak sirkuit terpadu

DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
·         UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
·         UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
·         UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·         UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)

Pelanggaran Haki
Undang- undang mengatur mengenai pelanggaran atas hak cipta. Di dalam UU No. 19 Tahun 2002 ditegaskan bahwa suatu perbuatan dianggap pelanggaran hak cipta jika melakukan pelanggaran terhadap hak eksklusif yang merupakan hak Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak dan untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya ciptanya. Sehingga berdasarkan ketentuan undang- undang ini, maka pihak yang melanggar dapat digugat secara keperdataan ke pengadilan niaga. Hal ini sebagaimana dibunyikan pada ketentuan Pasal 56 ayat (1), (2), dan (3) sebagai berikut:
·         Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.
·         Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
·         Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Sementara itu dari sisi pidana pihak yang melakukan pelanggaran hak cipta dapat dikenai sanksi pidana berupa pidana penjara dan/atau pidana denda. Maksimal pidana penjara selama 7 tahun dan minimal 2 tahun, sedangkan pidana dendanya maksimal Rp. 5 miliar rupiah dan minimal Rp. 150 juta rupiah

Sumber:

Jumat, 01 Mei 2015

Hukum Perjanjian



1. Pengertian Hukum Perjanjian 

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.

2.      ASAS DALAM HUKUM KONTRAK


  • ·         Asas Konsensualisme

         Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”, “accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
                  Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin melepaskan hak miliknya atas suatu barang  asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik barang.

               Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang.


  • ·         Asas  Pacta Sunt Servanda


        Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).

         Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

            Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
1.      Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
2.      Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.


  • ·         Kebebasan Berkontrak


             Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luas­nya yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk meng­adakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai adanya kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.
                       
         Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekan­kan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat per­janjian apa saja dan itu akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".

        Menurut Mariam Darus Badrulzaman "Semua" mengandung ,irti meliputi seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contract­vrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat. 

          Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi.

       Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:


a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d.Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e.Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
f.Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang­undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

       Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini mengemukakan, dari mempelajari hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.

          Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus dibatasi bekerjanya agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas kebebasan berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak? Bila kita mempelajari pasal-pasal KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pem­batasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tidak terbatas, antara lain Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal 1338 ayat (3).

       Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.


             Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak.

          Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ber­tentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah.

              Pasal 1332 memberikan arch mengenai kebebasan pihak untuk membuat kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai eknomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak.

        Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik" dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak mem­buat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya, tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.

       Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para. pihak yang mem­buat kontrak tidak sama kuat kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak sama.

REFFERENSI            ;
·         https://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/