1. Pengertian Hukum Perjanjian
Dalam hukum asing dijumpai istilah
overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan
sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai
”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut
memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah
tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian
dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat
pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab
undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian
dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan
pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai
pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad
mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta
kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan
perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat
mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang
dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin,
dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada
hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang
dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP
tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah
penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak
sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan
perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak
dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik,
kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur,
begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian
yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang
lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan
cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma,
dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
2. ASAS
DALAM HUKUM KONTRAK
- · Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti
kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang
bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki oleh
yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu
bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua
belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”,
“accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh
tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa
kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu
itu adalah juga yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka
adalah “sama”, sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka
kehendaki adalah “sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin
melepaskan hak miliknya atas suatu barang asal diberi sejumlah uang
tertentu sebagai gantinya, sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas
barang tersebut dan bersedia memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu
sebagai gantinya kepada pemilik barang.
Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan
bahwa hukum perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat
kami, asas tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang
mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal
1338 (1) sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1)
yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan
untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan
suatu undang-undang.
- · Asas Pacta Sunt Servanda
Pacta Sunt Servanda (aggrements
must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa “setiap perjanjian
menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini
menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina
1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is binding upon the
parties to it and must be performed by them in good faith” (setiap
perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).
Pacta sunt Servanda pertama
kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum
perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa
seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji
tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini
timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya
mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
1.
Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan
orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada
gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
2.
Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak
milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk
melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan
haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
- · Kebebasan Berkontrak
Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak atau yang
sering juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya
yang oleh undang-undang diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan
perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Penegasan mengenai adanya
kebebasan berkontrak ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,
yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk
menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu
undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang
dibuat secara sah.
Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan ber- kontrak (beginsel der contractsvrijheid) adalah dengan jalan menekankan pada perkataan "semua" yang ada di muka perkataan "perjanjian". Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita. sebagaimana mengikatnya undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan "ketertiban umum dan kesusilaan".
Menurut Mariam Darus Badrulzaman "Semua" mengandung ,irti meliputi seluruh perjanjian, balk yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat.
Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran
hak asasi.
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi
ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan untuk membuat
atau tidak membuat perjanjian.
b. Kebebasan untuk memilih
pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
c. Kebebasan untuk menentukan
atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
d.Kebebasan untuk menentukan
objek perjanjian.
e.Kebebasan untuk menentukan
bentuk suatu perjanjian.
f.Kebebasan untuk menerima
atau menyimpangi ketentuan undangundang yang bersifat opsional (aanvullend,
optional).
Lebih lanjut Sutan Remy Sjandeini mengemukakan, dari mempelajari
hukum perjanjian negara-negara lain dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan
berkontrak sifatnya universal, artinya berlaku juga pada hukum perjanjian
negara-negara lain, mempunyai ruang lingkup yang sama seperti juga ruang
lingkup asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia.
Kebebasan berkontrak atau freedom of contract harus dibatasi bekerjanya
agar kontrak yang dibuat berlandaskan asas itu tidak sampai merupakan
perjanjian yang berat sebelah atau timpang. Apakah memang asas kebebasan
berkontrak dapat bekerja secara bebas mutlak? Bila kita mempelajari pasal-pasal
KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada
beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas
ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tidak terbatas, antara lain
Pasal 1320 ayat (1); ayat (2); dan ayat (4). Pasal 1332, Pasal 1337 dan Pasal
1338 ayat (3).
Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum
perjanjian dikuasai oleh "asas konsensualisme". Ketentuan Pasal 1320
ayat (1) tersebut juga mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk
menentukan isi kontrak dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata, lain
asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.
Dari Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa
kebebasan orang untuk membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat
kontrak. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk
membuat kontrak, sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat kontrak.
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas
untuk membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang
atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum.
Kontrak yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh undang-undang atau
bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah
tidak sah.
Pasal 1332 memberikan arch mengenai kebebasan pihak untuk
membuat kontrak sepanjang yang menyangkut objek kontrak. Menurut Pasal 1332 tersebut
adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apa pun. Menurut pasal
tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai eknomis saja yang dapat
dijadikan objek perjanjian atau objek kontrak.
Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya "asas itikad baik"
dalam melaksanakan kontrak. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja
mempunyai daya kerja pada waktu kontrak dilaksanakan, melainkan juga sudah
mulai bekerja pada waktu kontrak itu dibuat. Artinya, bahwa kontrak yang dibuat
dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian
itu tidak sah. Dengan demikian, asas itikad baik mengandung pengertian bahwa
kebebasan suatu pihak membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya,
tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.
Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada
hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya
masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan
dan ketidakadilan bila para. pihak yang membuat kontrak tidak sama kuat
kedudukannya atau mempunyai bargaining position yang tidak sama.
REFFERENSI ;
·
https://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar